Selasa, 04 Juli 2017

IMAGINASI CINTA (Epilog) Last

1 Bulan Kemudian

“Gak terasa ya sebulan yang lalu kita masih tinggal di desa Kemuning bareng temen-temen SP dari fakultas lain.”

Rania memulai percakapan di minggu ketiga masuk kembali ke kampus setelah SP sebulan dan liburan seminggu lamanya yang mereka kerjakan kemarin.

“Iya Ran, aku juga gak nyangka kalau di SP sana bakal banyak drama kayak kemarin.”
“Aku juga gak nyangka sih kamu akhirnya tetep pacaran sama cowokmu yang setia itu. Aku kira kamu bakal nyeleweng, hahahaha”

Aina yang usil, mengejek Rania dengan perbuatannya sebulan lalu.

“Halah, kamu juga aku gak nyangka akhirnya malah jadian sama cowokmu sekarang. Padahal kukira kamu bakal langsung dinikahin ortu habis lulus nanti, hahahaha.”

Rania balik mengejek Aina yang akhirnya berpacaran dengan kekasihnya saat ini.

Ring Ring Ring

HP Aina berbunyi menandakan ada telpon masuk di HPnya. Aina segera mengangkat setelah melihat layar HPnya sejenak.

“Ai kamu jadi mau ketemu di kafe depan kampus sore ini? Kalau jadi, nanti aku nyusul ke sana.”

Tanya suara si penelpon.

“Iya jadi. Kamu ke tempat biasa aja langsung ya. Aku mau main dulu sama Rania.”

Jawab Aina dengan santainya.

“Oke, jangan kelamaan mainnya! Nanti aku nunggu lama lagi kayak kemaren-kemaren.”

Gerutu suara misterius di sebrang telpon.

“Iya… Nanti aku gak lama-lama kok. Lagian kan dosen mata kuliah terakhir lagi sakit katanya, jadi gak ada kelas. Makanya nanti aku duluan ke kafe buat main dulu sama Rania.”

Aina menenangkan orang di sebrang telpon.

“Oke. Aku tunggu ya. Love you.”

Telpon di sebrang langsung terputus setelah ucapan terakhir orang tersebut yang membuat baik Aina maupun orang itu geli mendengarnya.

“Euw..”

Aina berkata dengan muka jijik tetapi perasaan senang yang tidak bisa disembunyikan dengan senyuman di bibir juga pipi yang memerah.

“Kenapa Ai? Kok ‘Euw’?”

Rania bingung dengan reaksi Aina setelah menerima telpon barusan.

“Gimana gak jijik coba? Lo bayangin si Hail ngomong ‘Love you’ tadi! Gue gak pernah kepikiran dia bisa ngomong kayak tadi ke siapa pun. Lo kan tau dia gimana. Hahahaha”

Aina berbicara dengan antusias sambil tersipu malu kepada Rania.

“Hahahaha iya juga ya. Lagian gue penasaran deh. Kok bisa sih lo berdua tiba-tiba udah jadian aja? Kapan dia nembaknya? Bukannya waktu itu lo nolak dia ya di SP?”

Rania yang baru seminggu ini tahu masih saja penasaran dengan hubungan Aina dan Hail, karena Aina tidak pernah memberika jawaban yang serius.

“Pengen sih gue cerita. Cuma lo jangan cerita ke siapa-siapa ya soal dia.”

Aina memberikan ancamanan kepada Rania.

“Yaudah gue janji. Tapi lo harus serius kali ini ceritanya. Gak ada lagi yang sms nyasar lah, gak sengaja tabrakan lah, atau apa lah itu cerita-cerita macam sinetron yang lo ceritain kemarin ke gue.”

Rania berjanji, tetapi disertai ancaman pula agar Aina serius dengan ucapannya kali ini.

“Iya iya. Gue kan bercanda doang Ran kemaren-kemaren. Hahahaha”

Aina tertawa mendengar kekesalan sahabatnya itu.

***

Sesampainya di kafe, Aina dan Rania memilih tempat duduk tersembunyi di bagian pojok kafe. Aina malas jika nanti tiba-tiba bertemu siapapun yang dia kenal di sana saat sedang membicarakan kekasih barunya, karena hanya Rania yang tahu kalau Aina sudah berpacaran dengan Hail kira-kira seminggu lalu.

Setelah keduanya selesai memesan minuman masing-masing. Aina memulai ceritanya, karena Rania sudah melototinya dengan antusias.

“Jadi Ra… Setelah satu minggu liburan kemarin, dari hari pertama ngampus aku kan jadi sering ke tempat aku biasa beli film itu loh…, yah mungkin karena udah lama juga gak update apa-apa karena kegiatan kita di desa. Terus di sana aku gak sengaja ketemu sama Hail. Dia ternyata juga sering beli film di sana. Tapi mungkin karena aku belum kenal sama dia sebelumnya, jadi aku sama sekali gak perduli sama siapa aja yang ada di sana kecuali temen-temen kampus kita yang beberapa kali aku temuin di sana. Hail bilang, dia juga baru sadar kalau aku itu cewek yang juga sering banget beli film di sana bareng dia.”

Rania mendengarkan sahabatnya tanpa berkomentar. Tetapi hanya mengangguk-angguk tanda mendengarkan dengan seksama.

Setelah melihat reaksi wajah Rania yang senyum-senyum sambil terus serius mendengarkan, Aina melanjutkan ceritanya.

“Terus akhirnya aku sama dia jadi sering ngobrol lagi, karena aku pikir kita juga udah biasa aja dari terakhir kita ketemu pas SP itu. Aku kira dia itu udah gak ada rasa sama aku. Tapi setelah sering ngobrol semingguan di tempat itu aku jadi sering WA an sama dia buat ngomongin film atau acara kesukaan kita. Aku jadi baru tahu banyak hal soal Hail dari beberapa hari kita deket itu. Waktu sebulan kemarin di SP rasanya bukan apa-apa Ra dibanding beberapa minggu ini.”

Aina berhenti sambil melamun sendiri mengingat kelakuan Hail beberapa hari belakangan.

Rania kemudian memecah lamunan Aina.

“Ai? Kok malah melamun sih. Hahaha . Ayo… lagi mikirin apa sekarang?”

“Ah kamu ini Ran. Nggak kok, aku gak mikirin apa-apa. Aku capek aja, habis kamu dari tadi aku cerita gak komentar apa-apa. Cuma ngangguk-ngangguk aja. Kan aku juga ngira kamu mungkin udah ketiduran Ran hahahaha.”

Aina kemudian mengejek Rania yang terlalu serius mendengar ceritanya.

“Habis nanti kalau aku motong cerita kamu, adanya kamu ilang seriusnya. Aku kan beneran penasaran tau.”

Rania memberikan alasan sambil cemberut.

“Iya deh. Aku lanjutin ya…”

Aina kembali melanjutkan ceritanya, melihat sahabatnya yang mulai ngambek.

“Habis makin deket setelah 2 mingguan, terus tiba-tiba aja Hail nanya ke aku. Gimana perasaan aku ke dia. Apa aku udah ada pacar. Apa aku masih kesel sama dia. Ya aku bilang aja sejujurnya sama dia. Aku belum ada pacar. Terus juga aku ngerasa nyaman ngobrol sama dia karena hobi kita yang sama. Dan aku udah gak marah sama dia.”

“Terus kalian langsung jadian?”

Rasa penasaran Rania semakin meningkat.

“Yah nggak lah Ra. Aku tau maksud Hail itu apa nanya begitu ke aku. Tapi ya… aku tanya lagi ke dia. Gimana dengan sahabat dia Haris? Terus dia bilang Haris sekarang juga udah relain aja kalau Hail makin deket sama aku. Karena kata Hail, Haris Cuma mau bahagia terus dan kalau Hail bisa bikin aku bahagia, ya… Haris bisa bilang apa lagi, selain mundur teratur.”

Aina menjelaskan dengan muka yang lega.

“Wah… Haris ternyata berjiwa besar ya Ai. Aku jadi makin kagum sama dia hahahaha.”

Rania hanya bisa memasang muka takjub mendengar kelakuan Haris.

“Yah gitu deh. Habis itu Hail nembak aku lagi. Aku bilang oke, tapi aku gak mau kita terlalu ngeliatin banget kalau kita pacaran ke semua orang. Dia setuju aja karena menurut dia, ngumbar-ngumbar hubungan itu juga gak penting. Kalau aku sih gak siap dengan apa yang bakal orang-orang bilang. Maka dari itu Ra, Cuma kamu yang aku kasih tau untuk saat ini.”

Aina menjelaskan sambil melihat ke pintu masuk kafe. Hail yang datang lebih cepat, sedang sibuk mencari di mana Aina duduk dalam kafe.

“Ra, Hail udah dateng. Aku duluan ya. Takut nanti dia ngambek lagi karna nungguin aku.”

Aina pamit sembari berdiri dan berjalan ke arah Hail.

“Oke deh Ai. Makasih ya kamu udah mau jujur ke aku.”

Aina tersenyum mendengar perkataan sahabatnya. Kemudian Rania melambai ke arah Aina dan Hail sambil tersenyum.

Hail hanya membalas dengan tersenyum. Sedangkan Aina balas melambai. Hail dan Aina kemudia mulai berjalan keluar kafe dan pergi ke tempat mereka bisa nongkrong.

***

“Ai, kamu cerita ke Rania soal kita? Apa gak pa pa?”

Hail memulai pembicaraan saat mereka masih di jalan menuju tempat tujuan.

“Iya. Gak pa pa kok. Aku percaya banget sama dia. Dan lagian dia itu udah kayak saudara aku sendiri Hail. Mau gimanapun Rania orangnya, aku tetep lebih percaya dia dibanding siapapun di kampus.”

Aina menjelaskan sambil terus menatap jalanan di depannya.

“Dibanding aku?”

Hail mulai cemburu karna memang Aina selalu lebih mementingkan Rania selama ini dibanding dirinya.

“Iya. Kamu gak suka?”

Aina menjawab dengan sedikit nada bercanda.

“Jadi gitu ya. Aku cukup tau aja sih.”

Hail ngambek dan mulai menyilangkan tangan di depan dadanya, tanda dia benar-benar kesal dengan omongan Aina tadi.

Aina hanya tersenyum dan kemudian menatap Hail sambil berkata.

“Hail… denger ya… Aku gak pengen kamu 100% terlalu nempel ke aku. Aku itu bukan tipe cewek cemburuan kayak cewek-cewek lainnya. Aku juga gak suka kehidupan pribadi aku langsung hilang karena aku pacaran sama kamu. Begitupun aku gak suka kalau kamu mainnya Cuma sama aku. Aku mau kamu tetep main sama temen-temen kamu yang lain juga. Biar kita gak terlalu bergantung satu sama lain.”
Hail diam sesaat kemudian baru membalas ucapan Aina.
“Iya, maaf... dari awal harusnya aku udah tau kamu itu emang begini orangnya. Maaf ya kalau aku ini emang posesif. Gak tau kenapa, semenjak kita deket, aku jadi berubah kayak gini. I’ll do better okey…”
Aina hanyatersenyum dan mengangguk mendengar ucapan Hail.





Percintaan itu memang aneh.

Seperti…

Tidak tahu dengan siapa hati ini memulai rasa dan akan berakhir di mana.

Tapi jika di sepanjang perjalanan kalian akan menemukan berbagai ruang, jangan terlalu lama berhenti di ruang yang belum tentu akan menjadi rumah terakhir kalian. Jalan kalian masih panjang untuk mencari rumah itu.

Begitu pula dengan dengan sebuah hubungan.

Jika pacaran saja sudah membuatmu merasa berhak atas hidup seseorang, maka nikahi saja orang itu. Karena Hati hanya bisa dikunci dengan sebuah akad nikah.

Bukan dengan penyataan cinta setiap saat yang mungkin akan berubah suatu waktu.



Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar