1 Bulan Kemudian
“Gak terasa
ya sebulan yang lalu kita masih tinggal di desa Kemuning bareng temen-temen SP
dari fakultas lain.”
Rania
memulai percakapan di minggu ketiga masuk kembali ke kampus setelah SP sebulan
dan liburan seminggu lamanya yang mereka kerjakan kemarin.
“Iya Ran,
aku juga gak nyangka kalau di SP sana bakal banyak drama kayak kemarin.”
“Aku juga
gak nyangka sih kamu akhirnya tetep pacaran sama cowokmu yang setia itu. Aku
kira kamu bakal nyeleweng, hahahaha”
Aina yang
usil, mengejek Rania dengan perbuatannya sebulan lalu.
“Halah, kamu
juga aku gak nyangka akhirnya malah jadian sama cowokmu sekarang. Padahal
kukira kamu bakal langsung dinikahin ortu habis lulus nanti, hahahaha.”
Ring Ring
Ring
HP Aina
berbunyi menandakan ada telpon masuk di HPnya. Aina segera mengangkat setelah
melihat layar HPnya sejenak.
“Ai kamu
jadi mau ketemu di kafe depan kampus sore ini? Kalau jadi, nanti aku nyusul ke
sana.”
Tanya suara
si penelpon.
“Iya jadi.
Kamu ke tempat biasa aja langsung ya. Aku mau main dulu sama Rania.”
Jawab Aina
dengan santainya.
“Oke, jangan
kelamaan mainnya! Nanti aku nunggu lama lagi kayak kemaren-kemaren.”
Gerutu suara
misterius di sebrang telpon.
“Iya… Nanti
aku gak lama-lama kok. Lagian kan dosen mata kuliah terakhir lagi sakit
katanya, jadi gak ada kelas. Makanya nanti aku duluan ke kafe buat main dulu
sama Rania.”
Aina
menenangkan orang di sebrang telpon.
“Oke. Aku
tunggu ya. Love you.”
Telpon di
sebrang langsung terputus setelah ucapan terakhir orang tersebut yang membuat
baik Aina maupun orang itu geli mendengarnya.
“Euw..”
Aina berkata
dengan muka jijik tetapi perasaan senang yang tidak bisa disembunyikan dengan
senyuman di bibir juga pipi yang memerah.
“Kenapa Ai?
Kok ‘Euw’?”
Rania
bingung dengan reaksi Aina setelah menerima telpon barusan.
“Gimana gak
jijik coba? Lo bayangin si Hail ngomong ‘Love you’ tadi! Gue gak pernah
kepikiran dia bisa ngomong kayak tadi ke siapa pun. Lo kan tau dia gimana. Hahahaha”
Aina
berbicara dengan antusias sambil tersipu malu kepada Rania.
“Hahahaha
iya juga ya. Lagian gue penasaran deh. Kok bisa sih lo berdua tiba-tiba udah
jadian aja? Kapan dia nembaknya? Bukannya waktu itu lo nolak dia ya di SP?”
Rania yang
baru seminggu ini tahu masih saja penasaran dengan hubungan Aina dan Hail,
karena Aina tidak pernah memberika jawaban yang serius.
“Pengen sih
gue cerita. Cuma lo jangan cerita ke siapa-siapa ya soal dia.”
Aina
memberikan ancamanan kepada Rania.
“Yaudah gue
janji. Tapi lo harus serius kali ini ceritanya. Gak ada lagi yang sms nyasar
lah, gak sengaja tabrakan lah, atau apa lah itu cerita-cerita macam sinetron
yang lo ceritain kemarin ke gue.”
Rania
berjanji, tetapi disertai ancaman pula agar Aina serius dengan ucapannya kali
ini.
“Iya iya.
Gue kan bercanda doang Ran kemaren-kemaren. Hahahaha”
Aina tertawa
mendengar kekesalan sahabatnya itu.
***
Sesampainya
di kafe, Aina dan Rania memilih tempat duduk tersembunyi di bagian pojok kafe.
Aina malas jika nanti tiba-tiba bertemu siapapun yang dia kenal di sana saat sedang
membicarakan kekasih barunya, karena hanya Rania yang tahu kalau Aina sudah
berpacaran dengan Hail kira-kira seminggu lalu.
Setelah keduanya
selesai memesan minuman masing-masing. Aina memulai ceritanya, karena Rania sudah
melototinya dengan antusias.
“Jadi Ra… Setelah
satu minggu liburan kemarin, dari hari pertama ngampus aku kan jadi sering ke
tempat aku biasa beli film itu loh…, yah mungkin karena udah lama juga gak
update apa-apa karena kegiatan kita di desa. Terus di sana aku gak sengaja
ketemu sama Hail. Dia ternyata juga sering beli film di sana. Tapi mungkin
karena aku belum kenal sama dia sebelumnya, jadi aku sama sekali gak perduli
sama siapa aja yang ada di sana kecuali temen-temen kampus kita yang beberapa
kali aku temuin di sana. Hail bilang, dia juga baru sadar kalau aku itu cewek
yang juga sering banget beli film di sana bareng dia.”
Rania mendengarkan
sahabatnya tanpa berkomentar. Tetapi hanya mengangguk-angguk tanda mendengarkan
dengan seksama.
Setelah
melihat reaksi wajah Rania yang senyum-senyum sambil terus serius mendengarkan,
Aina melanjutkan ceritanya.
“Terus akhirnya
aku sama dia jadi sering ngobrol lagi, karena aku pikir kita juga udah biasa
aja dari terakhir kita ketemu pas SP itu. Aku kira dia itu udah gak ada rasa
sama aku. Tapi setelah sering ngobrol semingguan di tempat itu aku jadi sering
WA an sama dia buat ngomongin film atau acara kesukaan kita. Aku jadi baru tahu
banyak hal soal Hail dari beberapa hari kita deket itu. Waktu sebulan kemarin
di SP rasanya bukan apa-apa Ra dibanding beberapa minggu ini.”
Aina berhenti
sambil melamun sendiri mengingat kelakuan Hail beberapa hari belakangan.
Rania kemudian
memecah lamunan Aina.
“Ai? Kok malah
melamun sih. Hahaha . Ayo… lagi mikirin apa sekarang?”
“Ah kamu ini
Ran. Nggak kok, aku gak mikirin apa-apa. Aku capek aja, habis kamu dari tadi
aku cerita gak komentar apa-apa. Cuma ngangguk-ngangguk aja. Kan aku juga ngira
kamu mungkin udah ketiduran Ran hahahaha.”
Aina kemudian
mengejek Rania yang terlalu serius mendengar ceritanya.
“Habis nanti
kalau aku motong cerita kamu, adanya kamu ilang seriusnya. Aku kan beneran
penasaran tau.”
Rania
memberikan alasan sambil cemberut.
“Iya deh.
Aku lanjutin ya…”
Aina kembali
melanjutkan ceritanya, melihat sahabatnya yang mulai ngambek.
“Habis makin
deket setelah 2 mingguan, terus tiba-tiba aja Hail nanya ke aku. Gimana perasaan
aku ke dia. Apa aku udah ada pacar. Apa aku masih kesel sama dia. Ya aku bilang
aja sejujurnya sama dia. Aku belum ada pacar. Terus juga aku ngerasa nyaman
ngobrol sama dia karena hobi kita yang sama. Dan aku udah gak marah sama dia.”
“Terus kalian
langsung jadian?”
Rasa penasaran
Rania semakin meningkat.
“Yah nggak
lah Ra. Aku tau maksud Hail itu apa nanya begitu ke aku. Tapi ya… aku tanya
lagi ke dia. Gimana dengan sahabat dia Haris? Terus dia bilang Haris sekarang
juga udah relain aja kalau Hail makin deket sama aku. Karena kata Hail, Haris Cuma
mau bahagia terus dan kalau Hail bisa bikin aku bahagia, ya… Haris bisa bilang
apa lagi, selain mundur teratur.”
Aina
menjelaskan dengan muka yang lega.
“Wah… Haris
ternyata berjiwa besar ya Ai. Aku jadi makin kagum sama dia hahahaha.”
Rania hanya
bisa memasang muka takjub mendengar kelakuan Haris.
“Yah gitu
deh. Habis itu Hail nembak aku lagi. Aku bilang oke, tapi aku gak mau kita
terlalu ngeliatin banget kalau kita pacaran ke semua orang. Dia setuju aja karena menurut dia, ngumbar-ngumbar hubungan itu juga gak penting. Kalau aku sih gak siap dengan
apa yang bakal orang-orang bilang. Maka dari itu Ra, Cuma kamu yang aku kasih
tau untuk saat ini.”
Aina
menjelaskan sambil melihat ke pintu masuk kafe. Hail yang datang lebih cepat,
sedang sibuk mencari di mana Aina duduk dalam kafe.
“Ra, Hail
udah dateng. Aku duluan ya. Takut nanti dia ngambek lagi karna nungguin aku.”
Aina pamit
sembari berdiri dan berjalan ke arah Hail.
“Oke deh Ai.
Makasih ya kamu udah mau jujur ke aku.”
Aina
tersenyum mendengar perkataan sahabatnya. Kemudian Rania melambai ke arah Aina
dan Hail sambil tersenyum.
Hail hanya
membalas dengan tersenyum. Sedangkan Aina balas melambai. Hail dan Aina kemudia
mulai berjalan keluar kafe dan pergi ke tempat mereka bisa nongkrong.
***
“Ai, kamu cerita
ke Rania soal kita? Apa gak pa pa?”
Hail memulai
pembicaraan saat mereka masih di jalan menuju tempat tujuan.
“Iya. Gak pa
pa kok. Aku percaya banget sama dia. Dan lagian dia itu udah kayak saudara aku
sendiri Hail. Mau gimanapun Rania orangnya, aku tetep lebih percaya dia dibanding
siapapun di kampus.”
Aina
menjelaskan sambil terus menatap jalanan di depannya.
“Dibanding aku?”
Hail mulai
cemburu karna memang Aina selalu lebih mementingkan Rania selama ini dibanding
dirinya.
“Iya. Kamu
gak suka?”
Aina
menjawab dengan sedikit nada bercanda.
“Jadi gitu
ya. Aku cukup tau aja sih.”
Hail ngambek
dan mulai menyilangkan tangan di depan dadanya, tanda dia benar-benar kesal
dengan omongan Aina tadi.
Aina hanya
tersenyum dan kemudian menatap Hail sambil berkata.
“Hail… denger
ya… Aku gak pengen kamu 100% terlalu nempel ke aku. Aku itu bukan tipe cewek
cemburuan kayak cewek-cewek lainnya. Aku juga gak suka kehidupan pribadi aku
langsung hilang karena aku pacaran sama kamu. Begitupun aku gak suka kalau kamu
mainnya Cuma sama aku. Aku mau kamu tetep main sama temen-temen kamu yang lain
juga. Biar kita gak terlalu bergantung satu sama lain.”
Hail diam
sesaat kemudian baru membalas ucapan Aina.
“Iya, maaf...
dari awal harusnya aku udah tau kamu itu emang begini orangnya. Maaf ya kalau
aku ini emang posesif. Gak tau kenapa, semenjak kita deket, aku jadi berubah kayak
gini. I’ll do better okey…”
Aina hanyatersenyum
dan mengangguk mendengar ucapan Hail.
Percintaan itu
memang aneh.
Seperti…
Tidak tahu dengan
siapa hati ini memulai rasa dan akan berakhir di mana.
Tapi jika di
sepanjang perjalanan kalian akan menemukan berbagai ruang, jangan terlalu lama
berhenti di ruang yang belum tentu akan menjadi rumah terakhir kalian. Jalan kalian
masih panjang untuk mencari rumah itu.
Begitu pula
dengan dengan sebuah hubungan.
Jika pacaran
saja sudah membuatmu merasa berhak atas hidup seseorang, maka nikahi saja orang
itu. Karena Hati hanya bisa dikunci dengan sebuah akad nikah.
Bukan dengan
penyataan cinta setiap saat yang mungkin akan berubah suatu waktu.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar