Senin, 03 Juli 2017

IMAGINASI CINTA (Sebuah Keputusan)

Hari ke 30 SP

Pagi terakhir sebelum kepulangan seluruh panitia SP. Beberapa orang tampak sibuk mempersiapkan kepulangannya masing-masing. Sedangkan sebagian lagi sudah selesai merapihkan barang-barangnya dari semalam. Mereka yang sudah selesai merapihkan barang, menyisihkan waktu untuk mengobrol lebih lama dengan sahabat barunya di desa Kemuning ini. Cerita lucu, sedih, dan seru mulai berloncatan dari mulut panitia-panitia yang sedang mengobrol. Namun ada seseorang yang sedang sibuk mengindari orang-orang karena hati dan pikirannya sudah lelah semalaman.

“Lo ada yang liat Aina nggak? Dari tadi gue cariin kok gak ada di mana-mana ya?”

Haris yang sedang gelisah menanti jawaban Aina, sudah sibuk mencari Aina setelah selesai dengan packing nya.

“Nggak tuh, kita dari tadi di sini aja ngobrol dan emang Aina gak lewat sini dari tadi.”

Jawab Kayla yang sedang mengobrol dengan Talita di ruang tamu.

“Mungkin Aina di teras samping.”

Talita menambahkan.

“Oke thanks ya.”

Tidak menunggu jawaban dari lawan bicaranya, Haris langsung menuju ke teras samping rumah. Ternyata Aina tidak ada di sana. Karena lelah berputar-putar lantai 1 rumah Haris menyimpulkan mungkin Aina ada di atas. Kemudian ia memutuskan untuk menelpon Aina, karena tahu walau ini hari terakhir, tetap saja Aina tidak akan suka jika Haris naik ke lantai 2.

Setelah mendengar dering beberapa kali dan akhirnya terhubung pada pesan suara, lalu Haris langsung menekan nomer lain, yaitu nomer Rania.

“Halo Ran, lo lagi di mana? Ini gue Haris.”

Haris bertanya keberadaan Rania tanpa basa-basi.

“Gue lagi di luar, kenapa emang Ris?”

Rania bingung karena ini pertama kalinya Haris menelponnya.

“Nggak pa pa. Lo lagi sama Aina? Gue telpon dari tadi nggak diangkat sama dia.”

Haris mengatakan maksud sebenarnya tanpa takut dicurigai sama sekali.

“Oh.. Aina… Gue kurang tau juga ya. Soalnya gue keluarnya bareng Rahmat mau jajan sebentar. Tadi sih dia ada di kamar waktu gue pergi. Coba lo tanya Bunga , kan dia ada di kamar juga tuh kayanya.”

Rania yang khawatir karena mungkin urusan Haris sangat penting, mengusulkan solusi yang lumayan membuat hati Haris tenang.

“Oke deh. Makasih ya infonya Ran.”

Haris menutup telpon tanpa menunggu jawaban Rania.

Rania merasa aneh dengan sikap Haris padanya. Kemudian dia sudah sibuk mencari kontak Aina untuk menanyakan keanehan sikap Haris padanya tadi. Setelah telpon Rania berdering beberapa kali tanda telpon sudah tersambung, akhirnya telpon Rania diangkat oleh Aina.

“Halo Ai?”

“Iya ada apa Ran?”

“Kamu di mana Ai?”

“Aku… “

Aina terdiam sejenak malas untuk memberitahukan keberadaannya saat ini.

“Ai? Kamu gak pa pa kan Ai?”

“Iya aku baik-baik aja kok. Maaf ya aku lagi galau aja sekarang. Lagi pengen sendiri dulu nih Ran.”

“Emang kamu di mana Ai?”

“Aku lagi sendiri di saung deket SD Kemuning.”

“Aku ke sana ya… Kamu jangan ke mana-mana.”

Percakapan singkat tersebut membuat Rania mengerti jika sahabatnya memang sedang galau berat saat ini.

***

“Ai lagi galau kenapa sih? Kalau ada masalah cerita aja sama aku. Jangan dipendem sendiri kayak gini. Kan Aku juga sedih kalau ngeliat Kamu murung begini.”

Rania yang baru sampai di tempat Aina menyendiri menyampaikan isi hatinya kepada sahabatnya tersebut.

“Aku bingung Ran mesti cerita gimana, mulai dari mana, dan minta solusi kayak apa.”

Aina membalas kecemasan temannya tersebut dengan menatap sawah yang terhampar luas di depan mata.

“Yaudah kalau kamu bingung mau cerita dari mana, gimana kalau aku tebak aja?”

“Apa ini ada hubungannya sama Haris?”

“Soalnya dari tadi kayaknya dia panik banget pas kamu gak bisa dihubungin.”

Rania menebak dengan pertanyaan polos yang membuat Aina menghembuskan napas dalam di sampingnya.

“Iya kamu bener.”

“Tapi masalahnya gak semudah yang mungkin kamu pikirin saat ini Ran.”

Aina tetap mengelak untuk membicarakan masalahnya saat ini.

“Aku pengen banget bantuin sahabatku mecahin masalahnya saat ini, tapi sifat kamu yang tertutup kayak gini ngebuat aku ngerasa kayak gak berguna Ai buat kamu.”

Rania mulai pasrah mendengar jawaban Aina yang berbelit.

“Maaf Ran bukannya gak mau cerita, nanti kalau aku udah nemu solusi yang kurasa baik untuk masalah ini, aku bakal cerita ke kamu kok. Aku Cuma gak mau buat sahabatku jadi pusing dengan masalah yang gak penting begini. Kamu itu berguna banget kok Ran buat aku saat ini. Dengan kamu ada di deketku saat ini, aku juga udah ngerasa tertolong banget Ran.”

Aina meminta maaf sambil memeluk sahabatnya dari samping.

“Iya Ai, aku percaya kok kamu bisa nyelesain masalah kamu sekarang dengan otak dingin. Aku Cuma pengen sahabatku gak galau aja. Apapun yang bisa kubantu pasti bakal kubantu buat kamu.”

Rania yang paham dengan sifat Aina, hanya bisa percaya kepada sahabatnya ini.

“Makasih Ran.”

Aina kembali tersenyum, mendengar perkataan Rania.

***

Setelah hampir tengah hari, akhirnya Aina dan Rania kembali ke rumah panitia SP yang tidak jauh dari tempat mereka tadi. Haris yang memang masih menunggu Aina, sudah terlihat siluetnya di balik pagar rumah, sedang duduk di teras depan rumah sibuk dengan HPnya.

Tentu Aina tahu siapa yang sedang dihubungi Haris mengingat HPnya sendiri yang terus berdering tak berhenti dari tadi.

Setelah Aina dan Rania semakin dekat dengan pintu pagar rumah. Haris akhirnya sadar kalau orang yang sedang dicarinya dari tadi akhirnya ada di depan matanya.

Tanpa basa-basi Haris langsung menyerbu Aina dengan seribu pertanyan yang membuat Rania menyingkir karena tidak mau ikut campur dengan urusan pribadi sahabatnya itu.

“Ai, kamu dari mana aja? Aku cariin kamu dari tadi. Kenapa aku telpon dari tadi kamu nggak angkat-angkat sih? Aku udah nungguin kamu dari tadi pagi. Aku kira kamu marah sama aku. …”

Haris terus saja berbicara tanpa memberikan Aina kesempatan untuk bicara.

Aina terus saja melihat ke arah Haris dengan pandangan kosong dan muka datar. Haris akhirnya sadar kalau dia banyak bicara dari tadi tanpa mendengar Aina bicara sekalipun.

“Maaf Ai, aku cuma khawatir aja. Karena kamu dari tadi aku hubungin gak bisa bisa. Kamu marah sama aku?”

Haris akhirnya memberikan kesempatan Aina untuk bicara.

Belum sempat Aina menjawab, Hail datang dari dalam rumah karena mendengar Haris berbicara sendiri di teras depan.

Melihat ternyata Haris berbicara kepada Aina, Hail yang juga masih menunggu jawaban dari perasaan Aina kepadanya, hanya berdiri di depan pintu dan menunggu apa reaksi Aina dengan semua pertanyaan Haris tadi.

“Aku gak tau kalau ternyata kamu bisa cerewet juga ya ris.”

Jawab Aina dengan senyum kecil di bibirnya.

“Hmm… maaf Ai kalau aku banyak bicara. Pasti sekarang pandangan kamu tentang aku berubah banget ya Ai?”

Haris merasa bersalah sekaligus lega karena Aina tidak marah terhadap kelakuan dan perkataannya tadi.

“Sebenarnya aku bingung mau ngomong apa ke kamu ris.”

Aina berhenti sejenak karena sadar ada Hail yang juga sedang mendengarkan omongan mereka di depan pagar. Aina kembali melanjutkan omongannya dengan agak keras agar Hail juga mendengan omongannya ini.

“Ris, bukannya aku gak suka sama kamu. Bukannya aku marah juga sama kamu. Tapi kalau kamu mau tahu, aku bingung karena semalem dua sahabat baruku di sini nyatain perasaannya ke aku. Menurut kamu, aku harus pilih siapa, kalau kamu jadi aku?”

Haris yang bingung dengan omongan Aina tadi kemudian mulai bertanya kembali.

“Siapa ai yang nyatain perasaannya ke kamu juga selain aku semalem?”

Aina kemudian menatap tajam ke arah Hail yang berdiri tidak jauh di belakang Haris.

Haris yang sadar Aina sedang tidak memandangnya kemudian membalikan badan dan melihat Hail sedang berdiri di belakangnya.

“Hail, sejak kapan lo berdiri di situ? Ngapain lo berdiri di situ?”

“Gue lagi nunggu jawaban dari Aina, sama kayak lo.”

Hail menjawab dengan wajah datar seperti biasa.

Haris kaget dengan jawaban Hail dan kembali berbalik memandang Aina yang berdiri di depannya. Haris memandang dengan tatapan tidak percaya dan juga mencari pembenaran dari omongan sahabat dekatnya Hail.

Tanpa ditanya Aina kemudian memberikan jawaban yang dia rasa terbaik untuk mereka bertiga saat itu.

“Kalau gue boleh jujur, gue emang suka juga sama lo Ris. Tapi Hail nyatain perasaannya duluan ke gue semalem. Gue bingung kenapa lo gak pernah bilang perasaan lo dari kemaren-kemaren.”

“Buat lo Hail! Gue kan udah bilang semalem alasan gue gak bisa nerima lo saat ini. Gue juga gak mau lagi nyari nyari masalah sama Stella dengan berhubungan sama lo. Jadi apa gak lebih baik kita semua temenan aja kayak kemarin-kemarin?”

Setelah mendengar jawaban Aina Haris terdiam dan mundur pelan-pelan ke arah dalam rumah dengan tatapan kecewa. Hail yang juga akhirnya mengerti kenapa Aina menolaknya semalam, akhirnya menyerah memaksakan perasaannya dan juga ikut masuk ke dalam rumah.

Aina yang tersisa sendirian ikut masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamar untuk siap-siap pulang karena orangtuanya sudah hampir sampai untuk menjemputnya.

***

“Sejak kapan lo suka sama Aina Hail? Lo masa gak bisa liat gua sama dia sama-sama punya rasa? Kenapa di saat gue udah nemuin cewek yang gue rasa nyaman, lo malah bikin semuanya jadi kacau kayak gini!”

Haris mengungkapkan kekesalannya kepada Hail yang dengan tenang menjawab semua pertanyaan Haris.

“Gue gak tau sejak kapan. Gue kan udah pernah nanya sama kalian, tapi waktu itu kalian bilang kalian itu Cuma temenan aja. Gak lebih. Terus juga gue ngerasa Aina baik ke semua orang, bukan ke lo doang kok.”

“Tapi kan lo denger sendiri tadi dia bilang apa! Dia juga suka sama gue, dan Cuma karena lo nembak dia duluan dia jadi gak bisa nerima perasaan gue gitu aja. Lo ngerti gak sih!”

Haris makin kesal mendengar jawaban Hail tadi.

“Lo itu yang aneh. Kalau emang lo suka sama dia, kenapa gak dari kemaren-kemaren aja lo nembak dia? Kenapa baru semalem? Lo yakin banget dia bakal nerima lo? Atau lo yakin karena ngerasa Cuma lo yang punya perasaan ke dia?”

Omongan Hail barusan seperti menampar kuat Haris dengan telak. Hail seperti bisa membaca apa yang ada dipikiran Haris selama ini.

Memang benar Haris terlalu PD dengan dirinya yang selalu dibilang sempurna di SP ini, makanya dia mengutarakan perasaannya kepada Aina di hari terakhir SP. Dia merasa bahwa Aina memiliki perasaan kepadanya. Haris juga merasa tidak ada orang yang lebih mengenal Aina dan lebih baik perlakuannya kepada Aina selain dirinya.

Sombong yang datang karena sebulan penuh selalu merasa dielu-elukan itu sudah menghancurkan semua rencanya, hatinya, dan juga pertemanannya.

“Udah lah Ris. Lagian Aina juga kan nolak gue tadi, jadi kita sama-sama impas. Gue udah maafin omongan lo tadi ke gue. Bener kata Aina. Mendingan kita balik lagi aja jadi temen kayak kemaren-kemaren. Masa Cuma gara-gara cewek persahabatan kita dari semester 1 ancur gitu aja?”

Hail menenangkan Haris yang jatuh terduduk dan sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Hahaha lo bener. Kenapa gue jadi emosional gini sih. Sorry ya bro, kalau omongan gue udah nyakitin lo.”

Haris akhirnya tertawa dengan jalan takdir yang tidak sesuai keinginannya. Dan memutuskan untuk kembali menjadi dirinya sendiri, tanpa terlalu larut dengan emosinya sendiri.

“Yaudah balik yuk!”

Hail mengajak Haris yang terduduk untuk bangun dan pulang ke kosan mereka di Bandung.

***

“Ai, udah gak usah dipikirin lagi. Toh kita juga nanti bakal jarang ketemu sama mereka lagi di kampus.”

Rania khawatir melihat sahabatnya yang masuk ke kamar dengan muka tertekuk.

Sheila yang menguping pembicaraan Aina, Haris, dan Hail tadi di depan rumah, menjadi kesal dengan Aina dan mulai melontarkan isi kepalanya yang sudah panas melihat kejadian tadi.

“Heh! Lo tuh jadi cewek sok jual mahal banget sih! Lo kan dari awal tau gue suka sama Hail, kenapa coba lo malah tetep aja deketin dia, dan malah sekarang ngebuat dia suka sama lo lagi! Dasar cewek gatel lo!”

“Astagfirullah Sheila, kamu gak boleh ngomong kasar begitu ke Aina. Kita semua juga bisa liat sendiri pake mata kepala kita, kalau selama ini itu Hail yang deketin Aina. Aku malah ngerasa kamu yang ngejar-ngejar Hail mulu, padahal udah jelas-jelas Hail gak suka sama kamu.”

Bunga membela Aina, karena melihat Aina yang diam saja dengan perkataan Sheila tadi.

“Lo juga! Gak usah ikut campur deh! Dasar cewek sok alim!”

Sheila bertambah emosi mendengarkan kenyataan yang memang ia kubur jauh-jauh dari hidupnya.

“Lo itu maunya apa sih Shel? Denger ya! Aina itu gak pernah sekalipun sengaja deketin siapapun di SP ini. Dia emang dasarnya baik, makanya langsung bisa akrab sama semua orang termasuk Hail di SP ini. Lo itu yang keterlaluan banget tau nggak! Udah ngeselin, gak tau diri lagi!”

Thalita yang mendengar perdebatan dari dalam kamar perempuan langsung masuk kedalam kamar dan membalas perkataan Sheila kepada Bunga dan Aina.

“Lo semua tuh emang sekongkol kan buat jatuhin gue di sini!? Dan gue yakin lo yang nyuruh kan Ai? Ngaku deh lo?!”

Karena takut semakin banyak melibatkan panitia lain di dalam rumah, Aina akhirnya menjawab semua perkataan Sheila dengan emosi yang hampir tumpah ruah.

“Udah cukup Shel dengan semua kebohongan lo di sini! Gue capek ngadepin lo terus yang Cuma mikirin cowok doang di SP ini. Lo itu emang gak bisa hidup tanpa cowok kayaknya. Lo tuh harusnya sadar kalau Hail sama sekali gak suka sama lo! Dan yang paling penting! Lo denger ya… Gue gak pernah maksa dia buat suka sama gue, atau ngemis-ngemis cintanya buat gue. KAYAK LO!”

Sheila kaget dan tidak bisa berkata apa-apa karena Aina yang memang terkenal sangat baik dan tidak suka marah-marah akhirnya mengungkapkan perasaannya juga sesaat sebelum acara SP dibubarkan. Dia berpikir bahwa Aina akan diam saja mendengar semua perkataannya. Tetapi semuanya salah.

Sheila tidak tahu, kalau selama sebulan ini, Aina sudah muak dengan semua drama yang ada di dalam rumah dan merasa bahwa semua drama ini tidak penting baginya. Maka dari itu ia memutuskan untuk tidak lagi terlibat dengan semua drama tersebut.

Sheila yang kesal karena Aina membalas perkataannya dengan kenyataan yang sangat pahit baginya kemudian memutuskan untuk membereskan barang-baranya dan turun ke lantai 1 menunggu jemputan dengan perasaan malu dan hati yang panas.

***

Beberapa saat sebelum jemputan Aina datang, Semua panitia yang tersisa di teras depan rumah saling bermaaf-maafan sebelum kepulangan mereka ke rumah masing-masing.

Warga yang merasa tertolong dan terhibur dengan kedatangan panitia SP di desa mereka juga ikut mengantarkan kepulangan semua panitia dengan hati yang haru.

Sheila yang paling banyak melakukan hal-hal yang tidak baik di desa Kemuning tersebut, sudah pulang mebih dulu dari yang lainnya.

Yang tersisa hanya cerita, kenangan, dan canda tawa di desa Kemuning menyertai kepulangan semua panitia.



Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar