Hari ke 30 SP
Pagi
terakhir sebelum kepulangan seluruh panitia SP. Beberapa orang tampak sibuk
mempersiapkan kepulangannya masing-masing. Sedangkan sebagian lagi sudah
selesai merapihkan barang-barangnya dari semalam. Mereka yang sudah selesai
merapihkan barang, menyisihkan waktu untuk mengobrol lebih lama dengan sahabat barunya
di desa Kemuning ini. Cerita lucu, sedih, dan seru mulai berloncatan dari mulut
panitia-panitia yang sedang mengobrol. Namun ada seseorang yang sedang sibuk
mengindari orang-orang karena hati dan pikirannya sudah lelah semalaman.
“Lo ada yang
liat Aina nggak? Dari tadi gue cariin kok gak ada di mana-mana ya?”
Haris yang
sedang gelisah menanti jawaban Aina, sudah sibuk mencari Aina setelah selesai
dengan packing nya.
“Nggak tuh,
kita dari tadi di sini aja ngobrol dan emang Aina gak lewat sini dari tadi.”
Jawab Kayla
yang sedang mengobrol dengan Talita di ruang tamu.
“Mungkin
Aina di teras samping.”
“Oke thanks
ya.”
Tidak
menunggu jawaban dari lawan bicaranya, Haris langsung menuju ke teras samping
rumah. Ternyata Aina tidak ada di sana. Karena lelah berputar-putar lantai 1
rumah Haris menyimpulkan mungkin Aina ada di atas. Kemudian ia memutuskan untuk
menelpon Aina, karena tahu walau ini hari terakhir, tetap saja Aina tidak akan
suka jika Haris naik ke lantai 2.
Setelah
mendengar dering beberapa kali dan akhirnya terhubung pada pesan suara, lalu Haris
langsung menekan nomer lain, yaitu nomer Rania.
“Halo Ran,
lo lagi di mana? Ini gue Haris.”
Haris bertanya
keberadaan Rania tanpa basa-basi.
“Gue lagi di
luar, kenapa emang Ris?”
Rania
bingung karena ini pertama kalinya Haris menelponnya.
“Nggak pa pa.
Lo lagi sama Aina? Gue telpon dari tadi nggak diangkat sama dia.”
Haris mengatakan
maksud sebenarnya tanpa takut dicurigai sama sekali.
“Oh.. Aina…
Gue kurang tau juga ya. Soalnya gue keluarnya bareng Rahmat mau jajan sebentar.
Tadi sih dia ada di kamar waktu gue pergi. Coba lo tanya Bunga , kan dia ada di
kamar juga tuh kayanya.”
Rania yang
khawatir karena mungkin urusan Haris sangat penting, mengusulkan solusi yang
lumayan membuat hati Haris tenang.
“Oke deh.
Makasih ya infonya Ran.”
Haris
menutup telpon tanpa menunggu jawaban Rania.
Rania merasa
aneh dengan sikap Haris padanya. Kemudian dia sudah sibuk mencari kontak Aina
untuk menanyakan keanehan sikap Haris padanya tadi. Setelah telpon Rania
berdering beberapa kali tanda telpon sudah tersambung, akhirnya telpon Rania
diangkat oleh Aina.
“Halo Ai?”
“Iya ada apa
Ran?”
“Kamu di
mana Ai?”
“Aku… “
Aina terdiam
sejenak malas untuk memberitahukan keberadaannya saat ini.
“Ai? Kamu
gak pa pa kan Ai?”
“Iya aku
baik-baik aja kok. Maaf ya aku lagi galau aja sekarang. Lagi pengen sendiri
dulu nih Ran.”
“Emang kamu
di mana Ai?”
“Aku lagi
sendiri di saung deket SD Kemuning.”
“Aku ke sana
ya… Kamu jangan ke mana-mana.”
Percakapan singkat
tersebut membuat Rania mengerti jika sahabatnya memang sedang galau berat saat
ini.
***
“Ai lagi
galau kenapa sih? Kalau ada masalah cerita aja sama aku. Jangan dipendem
sendiri kayak gini. Kan Aku juga sedih kalau ngeliat Kamu murung begini.”
Rania yang
baru sampai di tempat Aina menyendiri menyampaikan isi hatinya kepada
sahabatnya tersebut.
“Aku bingung
Ran mesti cerita gimana, mulai dari mana, dan minta solusi kayak apa.”
Aina
membalas kecemasan temannya tersebut dengan menatap sawah yang terhampar luas
di depan mata.
“Yaudah
kalau kamu bingung mau cerita dari mana, gimana kalau aku tebak aja?”
“Apa ini ada
hubungannya sama Haris?”
“Soalnya
dari tadi kayaknya dia panik banget pas kamu gak bisa dihubungin.”
Rania
menebak dengan pertanyaan polos yang membuat Aina menghembuskan napas dalam di
sampingnya.
“Iya kamu
bener.”
“Tapi
masalahnya gak semudah yang mungkin kamu pikirin saat ini Ran.”
Aina tetap
mengelak untuk membicarakan masalahnya saat ini.
“Aku pengen
banget bantuin sahabatku mecahin masalahnya saat ini, tapi sifat kamu yang tertutup
kayak gini ngebuat aku ngerasa kayak gak berguna Ai buat kamu.”
Rania mulai
pasrah mendengar jawaban Aina yang berbelit.
“Maaf Ran
bukannya gak mau cerita, nanti kalau aku udah nemu solusi yang kurasa baik
untuk masalah ini, aku bakal cerita ke kamu kok. Aku Cuma gak mau buat
sahabatku jadi pusing dengan masalah yang gak penting begini. Kamu itu berguna
banget kok Ran buat aku saat ini. Dengan kamu ada di deketku saat ini, aku juga
udah ngerasa tertolong banget Ran.”
Aina meminta
maaf sambil memeluk sahabatnya dari samping.
“Iya Ai, aku
percaya kok kamu bisa nyelesain masalah kamu sekarang dengan otak dingin. Aku
Cuma pengen sahabatku gak galau aja. Apapun yang bisa kubantu pasti bakal
kubantu buat kamu.”
Rania yang
paham dengan sifat Aina, hanya bisa percaya kepada sahabatnya ini.
“Makasih
Ran.”
Aina kembali
tersenyum, mendengar perkataan Rania.
***
Setelah
hampir tengah hari, akhirnya Aina dan Rania kembali ke rumah panitia SP yang
tidak jauh dari tempat mereka tadi. Haris yang memang masih menunggu Aina,
sudah terlihat siluetnya di balik pagar rumah, sedang duduk di teras depan
rumah sibuk dengan HPnya.
Tentu Aina
tahu siapa yang sedang dihubungi Haris mengingat HPnya sendiri yang terus
berdering tak berhenti dari tadi.
Setelah Aina
dan Rania semakin dekat dengan pintu pagar rumah. Haris akhirnya sadar kalau
orang yang sedang dicarinya dari tadi akhirnya ada di depan matanya.
Tanpa
basa-basi Haris langsung menyerbu Aina dengan seribu pertanyan yang membuat
Rania menyingkir karena tidak mau ikut campur dengan urusan pribadi sahabatnya
itu.
“Ai, kamu
dari mana aja? Aku cariin kamu dari tadi. Kenapa aku telpon dari tadi kamu
nggak angkat-angkat sih? Aku udah nungguin kamu dari tadi pagi. Aku kira kamu
marah sama aku. …”
Haris terus
saja berbicara tanpa memberikan Aina kesempatan untuk bicara.
Aina terus
saja melihat ke arah Haris dengan pandangan kosong dan muka datar. Haris
akhirnya sadar kalau dia banyak bicara dari tadi tanpa mendengar Aina bicara
sekalipun.
“Maaf Ai,
aku cuma khawatir aja. Karena kamu dari tadi aku hubungin gak bisa bisa. Kamu
marah sama aku?”
Haris
akhirnya memberikan kesempatan Aina untuk bicara.
Belum sempat
Aina menjawab, Hail datang dari dalam rumah karena mendengar Haris berbicara
sendiri di teras depan.
Melihat
ternyata Haris berbicara kepada Aina, Hail yang juga masih menunggu jawaban
dari perasaan Aina kepadanya, hanya berdiri di depan pintu dan menunggu apa
reaksi Aina dengan semua pertanyaan Haris tadi.
“Aku gak tau
kalau ternyata kamu bisa cerewet juga ya ris.”
Jawab Aina
dengan senyum kecil di bibirnya.
“Hmm… maaf
Ai kalau aku banyak bicara. Pasti sekarang pandangan kamu tentang aku berubah
banget ya Ai?”
Haris merasa
bersalah sekaligus lega karena Aina tidak marah terhadap kelakuan dan
perkataannya tadi.
“Sebenarnya
aku bingung mau ngomong apa ke kamu ris.”
Aina
berhenti sejenak karena sadar ada Hail yang juga sedang mendengarkan omongan
mereka di depan pagar. Aina kembali melanjutkan omongannya dengan agak keras
agar Hail juga mendengan omongannya ini.
“Ris,
bukannya aku gak suka sama kamu. Bukannya aku marah juga sama kamu. Tapi kalau
kamu mau tahu, aku bingung karena semalem dua sahabat baruku di sini nyatain perasaannya
ke aku. Menurut kamu, aku harus pilih siapa, kalau kamu jadi aku?”
Haris yang
bingung dengan omongan Aina tadi kemudian mulai bertanya kembali.
“Siapa ai
yang nyatain perasaannya ke kamu juga selain aku semalem?”
Aina
kemudian menatap tajam ke arah Hail yang berdiri tidak jauh di belakang Haris.
Haris yang
sadar Aina sedang tidak memandangnya kemudian membalikan badan dan melihat Hail
sedang berdiri di belakangnya.
“Hail, sejak
kapan lo berdiri di situ? Ngapain lo berdiri di situ?”
“Gue lagi
nunggu jawaban dari Aina, sama kayak lo.”
Hail
menjawab dengan wajah datar seperti biasa.
Haris kaget
dengan jawaban Hail dan kembali berbalik memandang Aina yang berdiri di
depannya. Haris memandang dengan tatapan tidak percaya dan juga mencari
pembenaran dari omongan sahabat dekatnya Hail.
Tanpa
ditanya Aina kemudian memberikan jawaban yang dia rasa terbaik untuk mereka
bertiga saat itu.
“Kalau gue
boleh jujur, gue emang suka juga sama lo Ris. Tapi Hail nyatain perasaannya
duluan ke gue semalem. Gue bingung kenapa lo gak pernah bilang perasaan lo dari
kemaren-kemaren.”
“Buat lo
Hail! Gue kan udah bilang semalem alasan gue gak bisa nerima lo saat ini. Gue
juga gak mau lagi nyari nyari masalah sama Stella dengan berhubungan sama lo.
Jadi apa gak lebih baik kita semua temenan aja kayak kemarin-kemarin?”
Setelah
mendengar jawaban Aina Haris terdiam dan mundur pelan-pelan ke arah dalam rumah
dengan tatapan kecewa. Hail yang juga akhirnya mengerti kenapa Aina menolaknya
semalam, akhirnya menyerah memaksakan perasaannya dan juga ikut masuk ke dalam
rumah.
Aina yang
tersisa sendirian ikut masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamar untuk
siap-siap pulang karena orangtuanya sudah hampir sampai untuk menjemputnya.
***
“Sejak kapan
lo suka sama Aina Hail? Lo masa gak bisa liat gua sama dia sama-sama punya
rasa? Kenapa di saat gue udah nemuin cewek yang gue rasa nyaman, lo malah bikin
semuanya jadi kacau kayak gini!”
Haris
mengungkapkan kekesalannya kepada Hail yang dengan tenang menjawab semua
pertanyaan Haris.
“Gue gak tau
sejak kapan. Gue kan udah pernah nanya sama kalian, tapi waktu itu kalian
bilang kalian itu Cuma temenan aja. Gak lebih. Terus juga gue ngerasa Aina baik
ke semua orang, bukan ke lo doang kok.”
“Tapi kan lo
denger sendiri tadi dia bilang apa! Dia juga suka sama gue, dan Cuma karena lo
nembak dia duluan dia jadi gak bisa nerima perasaan gue gitu aja. Lo ngerti gak
sih!”
Haris makin
kesal mendengar jawaban Hail tadi.
“Lo itu yang
aneh. Kalau emang lo suka sama dia, kenapa gak dari kemaren-kemaren aja lo
nembak dia? Kenapa baru semalem? Lo yakin banget dia bakal nerima lo? Atau lo
yakin karena ngerasa Cuma lo yang punya perasaan ke dia?”
Omongan Hail
barusan seperti menampar kuat Haris dengan telak. Hail seperti bisa membaca apa
yang ada dipikiran Haris selama ini.
Memang benar
Haris terlalu PD dengan dirinya yang selalu dibilang sempurna di SP ini,
makanya dia mengutarakan perasaannya kepada Aina di hari terakhir SP. Dia
merasa bahwa Aina memiliki perasaan kepadanya. Haris juga merasa tidak ada
orang yang lebih mengenal Aina dan lebih baik perlakuannya kepada Aina selain
dirinya.
Sombong yang
datang karena sebulan penuh selalu merasa dielu-elukan itu sudah menghancurkan
semua rencanya, hatinya, dan juga pertemanannya.
“Udah lah
Ris. Lagian Aina juga kan nolak gue tadi, jadi kita sama-sama impas. Gue udah
maafin omongan lo tadi ke gue. Bener kata Aina. Mendingan kita balik lagi aja
jadi temen kayak kemaren-kemaren. Masa Cuma gara-gara cewek persahabatan kita
dari semester 1 ancur gitu aja?”
Hail
menenangkan Haris yang jatuh terduduk dan sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Hahaha lo
bener. Kenapa gue jadi emosional gini sih. Sorry ya bro, kalau omongan gue udah
nyakitin lo.”
Haris
akhirnya tertawa dengan jalan takdir yang tidak sesuai keinginannya. Dan
memutuskan untuk kembali menjadi dirinya sendiri, tanpa terlalu larut dengan
emosinya sendiri.
“Yaudah
balik yuk!”
Hail
mengajak Haris yang terduduk untuk bangun dan pulang ke kosan mereka di
Bandung.
***
“Ai, udah
gak usah dipikirin lagi. Toh kita juga nanti bakal jarang ketemu sama mereka
lagi di kampus.”
Rania
khawatir melihat sahabatnya yang masuk ke kamar dengan muka tertekuk.
Sheila yang
menguping pembicaraan Aina, Haris, dan Hail tadi di depan rumah, menjadi kesal
dengan Aina dan mulai melontarkan isi kepalanya yang sudah panas melihat
kejadian tadi.
“Heh! Lo tuh
jadi cewek sok jual mahal banget sih! Lo kan dari awal tau gue suka sama Hail,
kenapa coba lo malah tetep aja deketin dia, dan malah sekarang ngebuat dia suka
sama lo lagi! Dasar cewek gatel lo!”
“Astagfirullah
Sheila, kamu gak boleh ngomong kasar begitu ke Aina. Kita semua juga bisa liat
sendiri pake mata kepala kita, kalau selama ini itu Hail yang deketin Aina. Aku
malah ngerasa kamu yang ngejar-ngejar Hail mulu, padahal udah jelas-jelas Hail
gak suka sama kamu.”
Bunga
membela Aina, karena melihat Aina yang diam saja dengan perkataan Sheila tadi.
“Lo juga!
Gak usah ikut campur deh! Dasar cewek sok alim!”
Sheila
bertambah emosi mendengarkan kenyataan yang memang ia kubur jauh-jauh dari
hidupnya.
“Lo itu
maunya apa sih Shel? Denger ya! Aina itu gak pernah sekalipun sengaja deketin
siapapun di SP ini. Dia emang dasarnya baik, makanya langsung bisa akrab sama
semua orang termasuk Hail di SP ini. Lo itu yang keterlaluan banget tau nggak!
Udah ngeselin, gak tau diri lagi!”
Thalita yang
mendengar perdebatan dari dalam kamar perempuan langsung masuk kedalam kamar
dan membalas perkataan Sheila kepada Bunga dan Aina.
“Lo semua
tuh emang sekongkol kan buat jatuhin gue di sini!? Dan gue yakin lo yang nyuruh
kan Ai? Ngaku deh lo?!”
Karena takut
semakin banyak melibatkan panitia lain di dalam rumah, Aina akhirnya menjawab
semua perkataan Sheila dengan emosi yang hampir tumpah ruah.
“Udah cukup
Shel dengan semua kebohongan lo di sini! Gue capek ngadepin lo terus yang Cuma
mikirin cowok doang di SP ini. Lo itu emang gak bisa hidup tanpa cowok
kayaknya. Lo tuh harusnya sadar kalau Hail sama sekali gak suka sama lo! Dan
yang paling penting! Lo denger ya… Gue gak pernah maksa dia buat suka sama gue,
atau ngemis-ngemis cintanya buat gue. KAYAK LO!”
Sheila kaget
dan tidak bisa berkata apa-apa karena Aina yang memang terkenal sangat baik dan
tidak suka marah-marah akhirnya mengungkapkan perasaannya juga sesaat sebelum
acara SP dibubarkan. Dia berpikir bahwa Aina akan diam saja mendengar semua
perkataannya. Tetapi semuanya salah.
Sheila tidak
tahu, kalau selama sebulan ini, Aina sudah muak dengan semua drama yang ada di
dalam rumah dan merasa bahwa semua drama ini tidak penting baginya. Maka dari
itu ia memutuskan untuk tidak lagi terlibat dengan semua drama tersebut.
Sheila yang
kesal karena Aina membalas perkataannya dengan kenyataan yang sangat pahit
baginya kemudian memutuskan untuk membereskan barang-baranya dan turun ke
lantai 1 menunggu jemputan dengan perasaan malu dan hati yang panas.
***
Beberapa
saat sebelum jemputan Aina datang, Semua panitia yang tersisa di teras depan
rumah saling bermaaf-maafan sebelum kepulangan mereka ke rumah masing-masing.
Warga yang
merasa tertolong dan terhibur dengan kedatangan panitia SP di desa mereka juga
ikut mengantarkan kepulangan semua panitia dengan hati yang haru.
Sheila yang
paling banyak melakukan hal-hal yang tidak baik di desa Kemuning tersebut,
sudah pulang mebih dulu dari yang lainnya.
Yang tersisa
hanya cerita, kenangan, dan canda tawa di desa Kemuning menyertai kepulangan
semua panitia.
Bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar